Banyak anggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi orang belajar kejahatan. Kaji dan analisis masalah tersebut dengan teori Differential Association dengan mengemukakan 9 proposisi sebagai kekuatan teori tersebut. Siapa tokoh-tokoh teori ini?

Jawab:

Teori Differential Association (DA) menjelaskan bahwa “orang yang bergaul dengan pencuri kemungkinan besar akan menjadi pencuri, sebaliknya orang yang lebih sering bergaul dengan orang yang taat beribadah maka ia akan menjadi orang yang taat beribadah pula”.

Teringat dengan teori motivasi yang pernah saya dengar, “siapa Anda di masa depan ditentukan oleh buku apa yang anda baca dan dengan siapa anda bergaul”.

Saya termasuk yang setuju dengan anggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (LP) adalah tempat bagi seseorang untuk belajar kejahatan.

Berikut ini ilustrasi sederhana, katakanlah Fulan seorang yang belum pernah berbuat kriminal namun dengan skenario oknum sistem peradilan akhirnya “berhasil” dikriminalisasi, sehingga ia ditahan untuk jangka waktu tertentu.

Seorang yang ditahan, baik pidana kurungan atau penjara, dihilangkan kemerdekaannya, komunikasi keluar terbatas, aktivitas dibatasi, dsb.

Akhirnya rutinitas Fulan hanya terbatas pada makan, tidur, ngobrol dengan sesama tahanan, ibadah, dan itu berlangsung dalam waktu tertentu dan rutin, mulai bangun tidur sampai tidur lagi, terbayang seperti apa jenuhnya hidup.

Ibadah ritual terbatas waktunya, kecuali ia punya kesadaran spiritual untuk menggunakan kesempatan itu untuk mendalami ilmu agama seperti yang dilakukan Angelina Sondakh, artis dan mantan terpidana kasus suap proyek Hambalang.

Tapi aktivitas yang paling banyak adalah bersosial dengan sesama tahanan, entah bercerita kisah hidup, pengalaman, dosa masa lalu, sampai kasus yang membuat mereka akhirnya berurusan dengan hukum.

Fulan yang “polos” tadi, ketika sering berinteraksi dengan tahanan lain, akhirnya belajar banyak hal tentang hukum & kejahatan, ibarat mahasiswa yang sedang praktik lapangan.

Katakanlah ia ngobrol dengan tersangka/terdakwa/terpidana maling, bandar narkoba, teroris, penadah, pelaku cabul, dll. Ini adalah sebuah keniscayaan karena mereka (tahanan) dikumpulkan dalam sebuah ruangan tahanan berukuran sempit, mimimal belajar menjadi perokok, kosa kata bui, tata tertib tahanan, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Fulan sebelumnya.

 

Tidak mungkin Fulan bisa menarik diri secara utuh untuk tidak berinteraksi dengan para tahanan lain, karena sejatinya para tahanan itu sedang hidup bermasyarakat dalam area yang terbatas, di dalamnya ada istilah ketua genk seperti palkam, walkam, warga, RT, DKM (tamping mesjid), petugas kebersihan, pembagian tugas layaknya berbagi peran dalam masyarakat.

Bedanya jika di luar Lapas, kita bisa selektif memilih lingkungan, namun dalam area yang terbatas (Lapas) mau gak mau suka gak suka, seorang tahanan akan sering bergaul dengan maaf orang-orang yang toxic, dan sulit untuk menjauh dalam arti jarak dengan mereka.

Jika dikaitkan dengan postulat-postulat (Proposisi) dari Edwin H Sutherland maka dapat ditarik kesimpulan:

  1. Kejahatan itu dipelajari. Apakah Fulan akan menjadi penjahat karena bergaul dengan penjahat? Itu bab lain, karena sejatinya manusia punya sisi baik (takwa) dan sisi menyimpang (fujur), artinya apakah Fulan akan menjadi baik atau menyimpang, itu soal pilihan, namun belajar “mata kuliah” kejahatan itu jelas terjadi.
  2. Kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi. Betul, karena Fulan selama di tahanan akan bergaul dengan yang memang secara nyata adalah para pelaku kejahatan.
  3. Bagian pokok dari proses belajar kejahatan berlangsung di dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Ya sangat intim, ditahan dalam ruangan berukuran kecil dengan jumlah massa yang sesak memenuhi ruangan, interaksinya sangat-sangat intim, solidaritasnya maksimal meskipun kalau sudah dibuat kelaparan, main fisik sesama tahanan itu hal yang lumrah terjadi.
  4. Proses belajar kejahatan meliputi: (1). Teknik ✅ (2). Motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap ✅ Saya bisa sampaikan bahwa kecenderungan para tahanan itu merasa putus asa, ketika mereka tidak bertemu dengan orang yang tepat (membuat mereka bertaubat) yang ada adalah pembenaran atas dosa-dosanya, tidak ada yang mengoreksi pikiran/perasaan/tindakannya itu benar/salah, salah pun menjadi “wajar” karena mereka ada di tempat yang “wajar”. Bahasa mudahnya, “saya udah jadi pendosa (karena di hukum), udah aja jadi bejat sekalian”.
  5. Pengelompokan yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan intensitasnya. Dapat saya jelaskan bahwa tidak semua hal di dalam penjara itu buruk, mereka yang mau gemar ibadah bisa ikut menjadi tamping mesjid & berkawan dengan sesama ahli taubat misalnya, belajar mendalami ilmu agama, kita ambil contoh sosok mba Angelina Sondakh semakin menjadi pribadi yang lebih baik justru ketika berada di penjara. Seperti di luar, para terpidana harus pintar memilih teman, lingkungan yang mendukung untuk menjadi baik, meski betul dominasi lingkungan di dalamnya adalah tempat berkumpulnya aneka kejahatan & selemah-lemahnya iman, bahasa saya mau menjadikan penjara itu sebagai bentuk hukuman atau sarana perbaikan (mihrob/pesantren), tergantung pribadi masing-masing.
  6. Seorang menjadi delinkuen (nakal) oleh karena ia lebih mempunyai definisi yang mendukung pelanggaran hukum. Seperti yang saya sampaikan di poin 4, keputusasaan berjamaah dalam tempat dan waktu yang relatif lama menyebabkan mereka “memaklumi” dosa-dosa yang ada, “sesama pendosa dilarang mendahului”. Akhirnya definisi dosa/perilaku menyimpang menjadi “kabur”. Contoh, ini pemahaman yang pernah saya dengar dari terpidana narkoba, “bro coba lu bayangin, gw nyabu beli sendiri, ngasih ke temen juga kadang gw ngasih, kadang temen gw beli pake uangnya sendiri, gw ngerugiin negara sebelah mananya?” Artinya mereka (terpidana narkoba) tidak merasa sedang melakukan kejahatan, melainkan mereka merasa hanya menjadi korban sistem peradilan di Indonesia.
  7. Proses belajar kejahatan melalui pengelompokan dengan pola-pola kejahatan atau anti kejahatan menyangkut semua mekanisme yang terdapat dalam proses belajar apapun. Setuju, di dalam lapas atau di luar lapas, yang namanya proses belajar itu seperti kaidah yang diajarkan oleh ilmu mind technology bahwa, “all learning, change, behavior is unconscious”. Semua pembelajaran, perubahan dan perilaku tertentu terjadi secara tidak sadar. Di Tahanan pembelajaran itu terjadi secara terprogram dari para “praktisi” dalam waktu yang cukup lama. Sesingkat-singkatnya vonis hukuman bagi terpidana, bagi yang menjalaninya akan terasa sangat lama, waktu menjadi berjalan lambat, karena kemerdekaan dibatasi, yang ada hanya makan, tidur, ngobrol, ibadah.. Kadang tidur adalah pengibur hati, bukan karena malas, bagi tahanan mimpi itu lebih indah daripada kenyataan (dipenjara).
  8. Arah khusus motif dipelajari dari definisi mengenai menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum yang ada. Ada seorang mantan napi yang curhat, ada satu tindakan kriminal yang mereka berani lakukan bukan karena tidak tahu itu salah, melainkan karena mereka tahu hukumannya bisa terukur. Manfaat yang mereka peroleh lebih besar ketimbang hukuman yang akan mereka terima.

Tokoh teori Differential Association adalah Edwin H Sutherland.

Sumber Jawaban:

Pengalaman mendampingi para Tahanan

BMP SOSI4302 Teori Kriminologi Hal. 8.5-8.8

 

Jawaban diskusi ini bernilai 80!

By: Rizal Muharam – Paralegal & Mahasiswa Ilmu Hukum FHISIP Universitas Terbuka

Disclaimer! “Postingan ini bukan merupakan rujukan informasi hukum positif yang sempurna, namun jawaban atas pertanyaan ini telah dinilai oleh dosen mata kuliah Teori Kriminologi”.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *