Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan, dengan mas kawin 1 kilo gram emas, dibayar tunai! 😀

Wah wah jones (jomblo ngenes) bisa auto cancel sama tulisan ini nih, hehe..

Dengan ucapan kalimat akad itu, sebuah hubungan antara dua insan menjadi SAH, seorang manusia telah mengikrarkan komitmen perjanjian yang kokoh (mitsaqon gholidzo).

Intermezo ya, saya baru beres denger kajian pernikahan dari ustadz Bendri & ustadz Fatih Karim nih 🙂

Oke kita kembali ke judul bahasan…

Dalam sebuah aktivitas bisnis, seringkali timbul Perjanjian antara satu pihak dengan pihak lain. Banyak yang kerjasamanya berjalan mulus, namun ada juga yang pupus.

Bagaimana kalau bestie kamu itu ternyata ingkar janji? Atau dalam terminologi ilmu hukum positif di Indonesia disebut dengan wanprestasi.

Baca Juga: Gak Semua Upaya Hukum Harus Pakai Jasa Kuasa Hukum

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali, selain atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Tapi, gimana kalau bestie kita ngegantung tanpa kepastian kaya hubungan anak labil yang minta dijalanin tapi gak pernah minta dihalalin? #Eaa

Apa boleh perjanjian yang sudah disepakati itu dibatalkan sepihak?

Sebelum kita bahas lebih jauh tentang wanprestasi, akan lebih afdhol kalau kita pahami dulu tentang syarat SAH sebuah perjanjian menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Dari SAH atau tidaknya sebuah perjanjian, kita bisa memperkirakan upaya hukum apa yang mungkin dilakukan jika terdapat dugaan adanya itikad tidak baik dalam sebuah perjanjian.

Syarat SAHnya sebuah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) secara ringkas dapat kita jelaskan sebagai berikut:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal

Selama memenuhi 4 syarat tersebut, maka suatu perjanjian dapat dikatakan SAH *salaman :). Syarat No. 1 & 2 dinamakan syarat subjektif. Syarat No. 3 & 4 dinamakan syarat objektif.

Jika terbukti ada pelanggaran dari sisi syarat subjektif, bisa salah satu atau keduanya yang dilanggar, maka Perjanjian tersebut ‘dapat dibatalkan’.

Konsekuensinya perjanjian yang dapat dibatalkan tersebut adalah perjanjiannya tetap ada namun bisa dimintakan pembatalannya melalui hakim pengadilan, contoh misalnya perjanjian yang dilakukan dengan subjek hukum yang tidak sehat secara mental, adanya pemaksaan, penipuan atau belum cukup umur menurut undang-undang.

Jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian tersebut melanggar ketentuan dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yang disebut ‘batal demi hukum’.

Konsekuensinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (auto batal), contoh misalnya sebuah perjanjian yang mentransaksikan sebuah produk/jasa yang dilarang dalam undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Terakhir dan ini sering terjadi, dengan alasan karena “sesama saudara”, “sesama bestie” karena “dia orang yang taat beragama”, dll. banyak akhirnya perjanjian yang melahirkan perikatan untuk kedua belah pihak itu dibuat tidak tertulis.

Meski sebuah perjanjian tidak wajib dibuat secara tertulis, namun perjanjian secara tertulis lebih bisa menjamin kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

Untuk memperoleh keterangan yang lebih rinci untuk membuat sebuah draft perjanjian yang SAH secara hukum, harap berkonsultasi dengan konsultan hukum yang kompeten ya 🙂

Sahabatmu,
Coach Rizal Muharam

Share:

2 Responses on “Bukan Ijazah, Bisnis Perlu Ijab-SAH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *