Pasca mengikuti One Day Seminar Amazing Relationship For Amazing Life hari sabtu 17 desember 2016 lalu, saya sharing dengan istri seputar apa yang saya peroleh di seminar yang dibawakan langsung oleh Konsultan Pernikahan coach Indra & Nunik Noveldy, dan coach Andhyka Sedyawan (Founder Komunitas Amazing TrueHealth).

Salah satu poin penting yang saya peroleh dalam seminar tersebut adalah bagaimana memprioritaskan keluarga setelah mendahulukan Tuhan, selanjutnya baru karir atau bisnis.

Kenapa bisnis / karir ada di prioritas terakhir? Karena kalau urusan “ranjang” beres, insya Allah “dapur” lebih mudah dibereskan. Tentunya Anda bukanlah orang yang ingin berhasil secara karir / bisnis tapi keluarga malah berantakan, betul ya?.

Statistik membuktikan angka perceraian di Indonesia sangat tinggi, 1 dari 10 pasutri (pasangan suami istri) akhirnya bercerai. Ketika Anda bermasalah dengan pasangan, korban sesungguhnya bukan hanya di pasangan Anda tapi juga sangat berdampak pada buah hati Anda.

Keluarga harmonis, karir Amazing, mandiri finansial, hidup SuksesMulia berlimpah berkah adalah keinginan banyak pasangan yang sudah menikah.

Karena sejatinya menikah bukan untuk susah tapi untuk sakinah (bahagia). Seperti judul buku coach Indra Noveldy “Menikah Untuk Bahagia” setuju ya? 🙂

Dan salah satu bahasan saya dan istri adalah rencana – rencana kami di masa yang akan datang terutama perencanaan sekolah untuk buah hati kami, Khansa.

Ohya, ngomong – ngomong soal perencanaan sekolah, kami yakin dan percaya bahwa setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk buah hatinya, benar? Pastinya.

Tapi sebelum melangkah ke pendidikan (dalam arti sekolah formal) nanti, sadarkah para orang tua, bahwa sekolah pertama untuk anak adalah dirumahnya, bukan kober, PAUD atau play group. Orang tua adalah sekolah pertama untuk anak.

Seperti kata mentor bisnis kami coach Ahmad Sofyan Hadi “Urus bisnis bisa sambil merem tapi ngurus keluarga gak bisa sambil merem. Fanatiklah terhadap dua hal: Tuhan dan Keluarga”, kami sangat setuju dengan nasihat tersebut, karena sebetulnya anak dan keluarga adalah amanah dari Allah dan pastinya akan diminta pertanggung jawabannya kelak di yaumil akhir.

“Bisnis boleh gagal (karena bisa diulang), tapi mendidik anak, sekali, harus berhasil” 

Dan ngomong – ngomong soal orang tua sebagai sekolah pertama bagi anak, kami teringat dengan sebuah buku yang berjudul “Manage Your Mind For Success” karya Adi W. Gunawan, seorang praktisi Pendidikan & Mind Educator.

Dalam sebuah bab di bukunya, beliau menjelaskan tentang fase – fase perkembangan anak, yang saat ini ingin kami sampaikan dengan bahasa kami. Singkatnya, setiap anak akan melewati tiga fase perkembangan dalam hidupnya:

1. Fase Tanam (copy paste) 0 – 7 tahun
2. Fase Modeling (meniru) 7 – 14 tahun
3. Fase Sosialisasi (penyesuaian) 14 – 21 tahun.

Saat anak berusia 0 – 7 tahun ia seperti kertas putih yang bersih, yang belum tau ini dan itu, ia belajar, mendengar, melihat dan merasakan segala sesuatu disekitarnya dan semuanya di “copy paste”, inilah fase ‘masa tanam’.

Tidak ada anak yang terlahir bodoh, nakal, dan sifat negatif lain, darimana ia belajar kalau bukan dari lingkungan tempat ia tumbuh? Yuk introspeksi diri jangan – jangan selama ini kita memberikan kontribusi program mental yang salah.

Insya Allah saat ini kami lebih selektif dalam berucap atau ketika menonton televisi terutama saat Khansa ada di tengah – tengah kami, Alhamdulillah nya jarang nonton TV juga sih..

Master Hipnotis Romy Rafael pernah berkata, “Jangan sampai tertidur ketika sedang menonton TV karena saat menjelang ngantuk dan pada saat itu tayangan TV sedang menyiarkan tayangan yang tidak baik maka berpotensi menjadi sugesti negatif bagi diri kita” nah loh.. nah loh..

seandainya para orang tua sering menonton tayangan yang tidak mendidik sambil mengasuh anaknya yang berusia 0 – 7 tahun, maka jangan salahkan anak jika ia tumbuh dengan kata – kata, sikap dan perilaku negatif.

Jadi teringat dengan pengalaman salah satu guru coaching kami. Pada tahun 2008 kami sempat mengikuti sebuah pelatihan Time Line Therapy® Practitioner di Starfield Institute.

Guru kami pernah menterapi seorang klien sebut saja Jack, ia seorang pekerja keras, rajin, ulet, berkeinginan kuat ingin menjadi orang kaya, namun rasanya sulit sekali menjadi kaya, seolah ada suara – suara sumbang dalam hatinya yang tidak mengizinkan ia menjadi kaya.

Ketika di terapi dan memasuki past regresi (sesi hipnoterapi) ternyata pikiran bawah sadar si Jack membawanya ke peristiwa saat berada dalam kandungan ibunya, disitu (dalam kandungan) ia mendengar, ada sepasang suami istri bertengkar karena masalah uang.

Saat itu Jack ngebatin “kalau uang cuma bikin masalah, saya gak mau deh punya banyak uang” Huft.. sebuah “kenyataan masa lampau” yang sulit diterima dengan logika kami pada waktu itu, masa ia bayi dalam perut bisa ngebatin? Sampai pada akhirnya kami tahu bahwa bayi dalam kandungan pun bisa merasakan apa yang ibundanya rasakan.

Dan tahukah anda bahwa di masa lalu (dalam kandungan) si Jack ini, saat ia memutuskan “menjadi orang yang sulit menjadi kaya” bukan karena ia mendengar orang tuanya bertengkar soal uang, namun ternyata sang ibunda sedang menonton acara tv yang menayangkan adegan pertengkaran suami istri yang ribut soal uang. Subhanallah.. semoga kita terhindar dari efek buruk media yang setiap hari kita saksikan.

Fase berikutnya adalah Fase Modeling atau meniru, usia 7 – 14 tahun. Pada dasarnya anak terlahir seperti kertas putih ia belum punya sosok yang bisa ia tiru dalam hidupnya, kecenderungannya ia meniru dari lingkungan, orang tua dan sosok yang dikaguminya.

Periode ini termasuk periode kritis karena anak sudah masuk jenjang sekolah dasar (SD) menurut survey pak Adi W. Gunawan kebanyakan yang ditiru anak adalah hal negatif.

Pakar parenting bunda Ely Risman, S.Psi pernah menyampaikan sebuah fakta terkini tentang bahaya media internet dan gadget yang ternyata menjadi pintu masuk akses konten Porno kepada anak – anak usia SD naudzubillah..

Kami coba cari tahu apa yang dirusak oleh pornografi, dan kami temukan jawabannya ketika mengikuti Workshop STIFIn Lisensi Promotor (WSLP) selama tiga hari di Jakarta pada bulan juni 2015.

Dari berbagai bagian otak dengan masing – masing fungsinya, ada sebuah bagian otak yang dinamakan “Pre Frontal” tepatnya dibagian otak sebelah kanan ± 2 cm diatas alis mata yang bertanggung jawab untuk membedakan antara pikiran yang saling bertentangan, menentukan baik dan buruk, lebih baik dan terbaik, yang sama dan berbeda, konsekuensi masa depan dari kegiatan saat ini, bekerja menuju tujuan yang ditetapkan, prediksi hasil, harapan berdasarkan tindakan, dan “kontrol” sosial.

Bisa Anda bayangkan, pikirkan atau rasakan apa jadinya jika Pre Frontal ini belum ‘matang’ tapi sudah dirusak? mengeuuwwrikan!!.

Dan kabar buruknya, tanpa disadari, mungkin perusak itu sudah mulai diperkenalkan secara bebas kepada anak – anak, yang dinamakan dengan gadget karena dari situlah pintu masuk kerusakan otak, maka bijaklah dalam menggunakan gadget untuk anak kita terutama di fase modeling ini.

Hasil pemrograman fase modeling ini akan terus terbawa hingga anak tumbuh menjadi seorang manusia dewasa.

Apa yang terjadi di lima tahun pertama hidup anak di SD akan menentukan hidup anak selanjutnya. Kebayang apa jadinya kalau kedua orang tuanya terlalu sibuk dan kurang memperhatikan perkembangan anak?

Disinilah pentingnya Tuhan dan keluarga menjadi lebih utama daripada karir / bisnis, karena uang hilang bisa dicari tapi waktu kebersaman dengan keluarga yang hilang gak akan kembali.

Fase terakhir, fase sosial usia 14-21 tahun merupakan kelanjutan perkembangan dari apa yang telah didapat pada fase tanam & fase modeling.

Pada periode ini pemrograman lebih banyak berasal dari interaksi sosial anak, bisa dari teman, buku, film, gadget, internet, teman dekat dll. Apabila program yang diperoleh anak pada dua fase pertama baik, insya Allah di fase ini akan baik, begitu pula sebaliknya.

Bahasan seputar anak dan keluarga memang penuh explorasi, dan tak terasa lumayan panjang juga kami menulis, satu hal sharing kami sebagai penutup, menjadi orang tua adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang telah menikah tetapi ironisnya bagaimana menjadi sarjana orang tua adalah sebuah profesi yang hingga hari ini belum ada kampusnya. Teruslah belajar menjaga amanah Allah.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *